Seiring dengan
perjalanan pariwisata Bali, yang dibungkus dengan kebaikan dan keburukannya,
ternyata masih layak dipertanyakan kembali sudahkah kita membangun untuk Bali?
Sudahkan pembangunan berbasis budaya? Atau sudahkah berkelanjutan untuk Bali
atau berkelanjutan untuk segelitir orang? Deretan pertanyaan ini layak
direnungkan kembali, terutama bagi komponen pariwisata maupun seluruh
masyarakat Bali, karena banyak sisi lemahnya yang kasat mata dalam pembangunan
pariwisata Bali. Ada beberapa kelemahan pengelolaan pariwisata Bali yang
kerap disorot akademisi, praktisi budaya, lingkungan, pers maupun tokoh
masyarakat, terutama mengenai isu lingkungan dan sosial budaya. Dari aspek
keberlanjutan ekologi misalnya pembangunan fasilitas pariwisata yang melanggar
sempadan pantai (kepatutan) maupun dasyatnya alih fungsi lahan, dari hamparan
sawah menjadi hamparan beton. Dari aspek sosial budaya, pariwisata Bali dengan
kredo pariwisata budaya, juga kurang mengakomodir aspirasi seluruh lapisan
masyarakat. Masyarakat lokal yang terorganisir melalui desa adat tidak
dilibatkan secara aktif, terkesan hanya “dinikmati“ oleh segelintir orang.
Konflik dalam memperebutkan, siapa yang sepatutnya berhak mengelola daya tarik
wisata, kerap juga menjadi sorotan media.
Sebelum terjadinya bom Bali I 12 Oktober 2012, wisatawan yang datang ke
Bali mencapai 1,3 juta orang, turun 22 persen menjadi 993 ribu wisatawan pada
2003. Setelah sempat naik menjadi 1,45 juta orang pada 2004, kunjungan
wisatawan asing ke Bali anjlok lagi menjadi 1,26 juta pada 2006 akibat serangan
bom Bali II pada November 2005. Pada 2007, jumlah wisatawan
asing yang datang ke Bali meningkat menjadi 1,66 juta dan naik lagi menjadi
1,966 juta pada 2008, 2,22 juta pada 2009, 2,4 juta pada 2010 dan 2,7 juta pada
2011.
Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika memandang
pengembangan kepariwisataan di Bali harus memiliki karakteristik untuk menjaga
citra keunikan destinasi wisata. Ia mencontohkan untuk kawasan
wisata Sanur yang sejak dulu mempertahankan karakteristik wisata yang damai dan
tenang, sehingga tidak mungkin di sana akan dibangun diskotik yang besar-besar.
Berbeda halnya dengan kawasan Kuta. Menurut
dia, panduan dasar pengembangan wisata di Bali dengan karakteristik tersendiri
sudah ada di dalam Perda No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi (RTRWP) Bali. Ia juga
tidak bisa mengatakan pembangunan kepariwisataan Bali sudah menyimpang atau
belum karena sesungguhnya pemerintah belum secara tegas mengacu pada rencana
induk pengembangan pariwisata yang mana disepakati dan dipegang. Di sisi lain, ia memandang pengembangan pariwisata
Bali juga harus memperhatikan ketersediaan air di Pulau Dewata.
Sebagai industri
perdagangan jasa, kegiatan pariwisata tidak terlepas dari peran serta
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah
bertanggung jawab atas empat hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah atau
kawasan pariwisata, pembangunan (development) fasilitas utama dan pendukung
pariwisata, pengeluaran kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan dan
penegakan peraturan (regulation).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar